Cahaya Dan Keburaman Mozaik Kalbu

Senin, 17 Januari 2011
Bagaimana mungkin pantulan cahaya kalbu bisa terang benderang, sedangkan gambar duniawi yang justru memantul dalam cermin itu.

Bagaimana mungkin ia pergi kepada Allah, sementara ia terpenjara oleh nafsu syahwatnya.

Bagaimana mungkin ia berhasrat menuju hadirat Allah sedangkan ia belum suci dari janabat kelalaiannya.

Bagaimana mungkin ia bisa memahami pernak-pernik rahasia, semnetar ia belum bertobatdari segala kekeliruannya.

Allah menjadikan kalbu ruhani manusia ibarat sebuah cermin yang jernih dan bening. Dari mozaiknya senantiasa memantulkan gambar-gambar siapa dan apa yang berada di depannya. Maka, apabila Allah SWT hendak menolong hamba-hambanya, sang hamba disibukan untuk berkontemplasi melalui cahaya Malakut-Nya dan rahasia alam Jabarut-Nya, sama sekali konsentrasi cintanya terhadap segala hal dari duniawi yang buram ini, serta khayalan-khayalan yang semu itu memantul dalam cermin kalbunya. Lalu yang memantul hanyalah cahaya iman dan cahaya ikhsan. Disanalah kelak kalbu para hamba Allah bercahaya, memenuhi ruang jiwanya.

Di dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, jangan kamu sekalain mendekati shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu sekalian tahu apa yang kamu katakan, dan jangan pula orang yang junub, kecuali orang yang melalui jalan, hingga mereka telah mandi (jinabat)".
Tafsir secara sufistik ayat tersebut adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekatkan diri kepada Allah dalam shalat hadrat Illahi, sedangkan kamu sekalian mabuk dalam duniawi, sirna dari penyaksian dalam kealfaan. Hingga engkau bisa sadar jiwamu dan mampu berkontemplasi terhadap apa yang kamu lihat dalam Hadrat Illahi. Begitu pula orang yang junub dalam persetubuhan kealfaan dan kelalaian, dilarang masuk rumah Illahi kecuali ia telah menyucikan jiwanya dengan air suci ruhani. Bersuci dari kotoran fisikal material, hingga menjadi suci dalam dunia maknawi yang hakiki.

Wacana diatas selain menjadikan gambaran tentang bagaimana shalatnya awam, tetapi juga menggambarkan shalatnya para 'arifin sufi. Apa yang disebut shalat da'im atau shalat bathin, sama sekali tidak meninggalkan shalat dhahir, yaitu shalat syariat. tetapi justru seseorang tetap melakukan shalat lima waktu, sedangkan ruh dan jiwanya bersemayam dalam wahana hakikat shalat, yang tidak hanya berhenti ketika shalat selesai, tetapi terus-menerus melakukannya, tanpa batas ruang dan waktu.

Memasuki Hadirat Illahi, adalah memasuki dunia suci, lahir dan bathin. Kemabukan duniawi yang menghalangi hubungan hati dengan Allah adalah tirai tebal yang sangat menggelapkan jiwa kita. Tirai yang sangat membungkam diri kita hingga kita akhirnya sampai mengalami situasi kebingungan.

Dari ayat di atas itulah tersimpul tiga poin:
  1. Mereka yang sedang menuju kepada Allah, harus menyingkirkan segala hal selain Allah dalam hatinya, agar benar-benar mampu menghadap Allah.
  2. Mereka yang sedang menuju kepada Allah harus suci dari kelalaian dzikrullah, karena gelembung nafsu dan syahwat yang menyeret kalbunya.
  3. Mereka yang menuju kepada Allah akan mencapai keparipurnaannya, manakala ia telah keluar dari dirinya sendiri, egonya dan hasrat-hasrat dirinya, melainkan ia telah mencapai peleburan Hadirat Illahi.
Itulah kunci kecemerlangan hati. Selebihnya kita akan terjebak dalam keburaman mozaik cermin yang memantulkan segala kegelapan.