Setelah sekian jalan-jalan untuk mencari ide, akhirnya saya menemukan sebuah artikel yang berjudul Ulama Yang Tolol, dan Si Tolol Yang Alim. Artikel ini berisi Renungan tentang diri kita, dan termasuk siapakah kita?. Ulama yang tololkah?, atau Si Tolol yang alim?.
Anda berguru atau mencari sahabat orang bodoh yang tidak menuruti hawa nafsunya, lebih baik daripada berguru kepada orang alim yang merelakan dirinya untuk mengikuti hawa nafsunya. Lalu ilmu macam apa yang ada pada ulama (cendikiawan) yang menuruti hawa nafsunya? Dan disebut kebodohan yang mana, jikaorang itu tidak mengikuti hawa nafsunya?
Inilah etika kita berguru atau bersahabat dengan seseorang, mestinya harus selektif agar berpengaruh positip dalam keseharian kita.
Banyak orang pandai, alim, intelektual, tetapi sepanjang kepentingan-kepentingan pribadinya lebih menonjol, sama sekali tidak patut untuk kita ikuti. Tidak peduli apakah dia ustadz, Kyai, cendikiawan muslim, ataukah seorang syeikh, manakala ia masih menuruti kepentingan hawa nafsunya, sangat tidak layak diikuti jejaknya.
Kepentingan nafsu itu sering kali justru dijadikan umpan setan untuk berselingkuh dengan ilmu pengetahuan, kebenaran, agama, dan hal-hal yang suci. Artinya, mereka berselimut kesucian, keulamaan, kecendikiaan, jika masih mengikuti hawa nafsunya, seperti popularitas, riya, takjub diri, ingin dipuji, takabur, egois, berarti ia tetap saja orang yang bodoh.
Sebaliknya sama sekali tidak bisa disebut orang bodoh, jika seseorang mampu mengekang hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh, hakikatnya ia adalah orang yang pandai. Karena betapapun hebatnya ilmu seseorang, sepanjang ia masih senang dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah menyelamatkan kita dunia hingga akhirat.
Hamba Allah yang mampu mengekang hawa nafsunya, walaupun ia bodoh, pasti memiliki tiga karakter :
1. Sadar dirinya
2. Tawadlu (rendah diri) pada sesama
3. Mencari kebenaran dengan jujur
Menurut Ammar RA, jika tiga perkara berkumpul pada diri seseorang, maka ia telah benar-benar mengakumulasi keimanannya: sadar diri, menyiramkan kedamaian bagi semesta, dan menginfakan hartanya walaupun ia miskin.
Siapa yang mensahabati manusia model ini, ia akan mendapatkan tiga hal pula: meraih kebajikan-kebajikan tersebut sebagai anugrah, karena seseorang itu sangat erat kaitanya dengan keyakinan agama sahabat dekatnya. Ia juga meraih rasa senang dalam hatinya, dan mendapatkan keselamatan dunia dan agamanya.
Sementara orang yang rela dengan hawa nafsunya, akan melahirkan tiga sipat negatif. Kesombongan, tidak sadar dirinya, dan aktif dengan rasa kebanggaanya. Bersahabat atau berguru kepadanya akan melahirkan tiga hal pula: menjadi budaknya, memayahkan diri dan terputus (tidak sampai tujuannya) putus ahirnya. Karena ia mengklaim kebenaran dirinya, yang sesungguhnya tidak layak. Karena itu ia tidak akan sampai meraih ridho Allah, tidak mendapatkan ampunan Allah, bahkan tidak mau kembali dalam segala hal kepada Allah. Karena ia tidak layak untuk dikasihi.
Kalau kebetulan ia seorang yang alim atau intelektual muslim, maka ilmu pengetahuanya justru akan memperburuk kepribadianya. Sebaliknya kalau ia bodoh, maka kebodohanya akan menjadi bencana baginya dan bagi sahabatnya. Kalau dia pemimpin , sama sekali kepemimpinannya tidak bermanfaat bagi dunia, agama dan akhirat.
Karenya, Sahl bin Abdullah menegaskan, "Jauhi tiga kelompok manusia: Para pembaca Al-Quran yang penuh dengan gaya pamer; Orang-orang sufi yang bodoh dan orang-orang diktator yang alpa dengan dirinya sendiri".
Padahal seorang sahabat itu diharapkan memberikan tiga hal: Nasihat, kasih sayang dan pertolongan.
Hakikat kebodohan itu sendiri terdiri dari tiga hal:
1. Lari dari kebenaran
2. Mengikuti kebatilan
3. Memutuskan aturan dengan cara yang salah
Inilah yang akan menimpa orang yang rela menuruti hawa nafsunya.
Sebaliknya, hakikat pengetahuan (ilmu) juga beredar pada tiga hal:
1. Beramal dengan benar
2. Menjauhi kebatilan
3. Memberikan porsi dengan kelayakanya
Ketiga hal yang terakhir itu tentu tidak akan dijumpai kecuali pada mereka yang tidak rela pada hawa nafsunya.
Sekian semoga menjadi bahan renungan bagi kita...
10 komentar:
hebat sob artikelnya...
i like it....
and
always hppy blogging friend....
hemmm...boleh juga artikelnya
artiker yang menarik, bahan renungan bagi diri pribadi.....
Salam
Menyapa kawan dihari Sumpah Pemuda…
Mohon berpartisipasi dan dukungannya kawan…
Salam Kawan
Tawadhu', amat susah diterapkan jika seseorang sudah mencapai tahap 'wah' baik itu amal ataupun perbuatannya.
Salam kenal kawan :))
super nice article :-)
orang alim memang banyak
Tapi yang kita butuhlan adalah orag alim yg benar2 mengamalkan ilmunya
Posting yang bagus nih sob buat pencerahan diri
Saya termasuk yg mana ya.. gak dua2ny kali.... hehe
Mantep, Lur!!! sayah sapanuju!!
rupanya sodara sayah LS inih, udah kenal sama Syaikh Athaillaha yah ;)
iya, oleh sebab itu jangan pernah minder sama bergulungnya sorban, berjuntainya janggut, maupun bertanda hitamnya kening seseorang..semua itu belum tentu menunjukkan keikhlasan tanpa pamrih. perlu kita teliti dulu "ideologi" tauhidnya.. apa seseorang itu bertauhid dengan benar ato tidak..
sebagey tambahan, ada hadis
"Jangan berteman dengan orang yang tidak fanatik pada agamanya."
Ini artinya bahkan kita lebih baik gaul sama yang gak seagama (nonmuslim)sekalian, tapi dia fanatik sama agamanya sendiri. kenapa? soale kalo kita "ribut" soal agama sama nonmuslim, singkat penutupnya: lakum dinukum waliyadin.
tapi kalo sama sesama muslim yang gak fanatik sama agamanya (ati2 terutama sama yg suka bilang gini:"Ahh...semua agama itu kan intinya sama!") mending babay surabay dadah suradah aja sama yg beginian mah. bahaya, bisa bikin kita jadi orang munafik loh...
great post, Dear Bro!
Posting Komentar
Kritik dan Saran sangat berharga bagi saya untuk membangun Blog ini lebih baik, Silahkan isi komentar Anda di bawah ini..